Ini Catatan Dr.Renwarin Tentang Festival Wanua Woloan

TOMOHON, LENSA-INDO.COM – Kota Tomohon merupakan salah satu Kota di Provinsi Sulawesi Utara yang masih kental dengan adat dan budaya Suku Minahasa. Hal itu bisa kita temui di arah Barat Tomohon yaitu Kelurahan Woloan.

Di bulan Agustus ini tepatnya tanggal 9 Agustus 2024, salah satu Komunitas budaya yang konsen dengan Pelestarian Budaya di Woloan bernamakan Pusat Kebudayaan Tombulu (PUKETO) akan menggelar Festival Wanua Woloan.

Penasaran apa dan bagaimana Festival Wanua Woloan itu?, Dr. Paul Richard Renwarin seorang Antropolog dan Dosen di STFSP mengupasnya dalam catatan dengan judul Festival Wanua Woloan.

Woloan sebagai Wanua

Sekarang ini orang mengenal adanya empat (4) KELURAHAN Woloan yang merupakan bagian dari kota Tomohon, yaitu kelurahan Woloan Satu, Woloan Satu Utara, Woloan Dua, dan Woloan Tiga; di bawah kelurahan dibentuk kelompok-kelompok lebih kecil yang dinamakan LINGKUNGAN. Ini suatu pembagian administratif-sipil oleh pihak pemerintah kota, yang membuat pengelompokan para warga secara geografis di bawah kepemimpinan seorang LURAH, dan tingkat Lingkungan dipimpin oleh seorang KEPALA LINGKUNGAN. Relasi sosial para penduduk dalam pengelompokan ini bersifat hirarkis, sipil, dan politis; artinya para penduduk ini dipandang sebagai warga sipil dari suatu negara dan semua kegiatan, interaksi dan komunikasi para anggotanya diatur,  ditata dan dikontrol (dari atas-pusat) dalam kerangka program kegiatan pemerintah setempat.

Serentak dalam masyarakat Woloan hiduplah suatu ikatan sosial atau rasa, paham, tindakan, dan nilai kebersamaan yang sangat kuat yang membentuk suatu persekutuan hidup bersama sebagai satu komunitas adat, yang dinamakan TOU atau ORANG Woloan, yang bersama-sama mendiami suatu lingkungan alam, dan karenanya disebut juga sebuah WANUA. Komunitas adat  wanua ini merupakan suatu kesatuan hidup bersama, dengan kegiatan kerja harian, berelasi satu sama lain untuk mengembangkan hidup tiap individu anggota kelompoknya. Komunitas adat wanua sebenarnya merupakan kumpulan dari kelompok-kelompok kekerabatan atau marga atau pahtuarian, yang menyandang nama marga masing-masing dan yang terikat karena hubungan darah (=basudara) dan yang mengakui berasal dari leluhur yang sama. Di Woloan raya sendiri terdapat paling kurang 90-an marga sekarang ini, yang sebagian besarnya tergabung dalam wadah Rukun Keluarga.

Dalam kerangka komunitas adat wanua ini terdapat banyak pemimpin untuk pelbagai pengelompokan, dan pemimpin ini diambil sosok atau orang yang tua dalam hal usia, dan/atau yang punya keunggulan tertentu di suatu bidang; karenanya dia disebut paendo’n tu’a, yang dituakan atau yang diunggulkan. Dalam bidang pemerintahan sipil seorang Lurah itu dinamakan paendo’n tu’a, dan dia menjadi ‘kakak yang tua’ untuk bidang sipil dalam komunitas adat wanua; sementara para kepala Lingkungan ini sebenarnya adalah tu’a in lukarz (=kepala jaga, dia yang diunggulkan untuk menjamin keamanan) dan ada juga pejabat untuk membagi-bagikan (=meweteng) baik kegiatan kerja, barang dan jasa bagi seluruh anggota kelompoknya agar kehidupan bersama itu nyaman dan bercorak sosial. Begitu pula ada pemimpin untuk kelompok marga, yaitu tu’a im pahtuarian, dan juga ada pemimpin untuk kelompok kerja, yaitu tu’a im palus. Semua pemimpin ini berperan dalam bidangnya secara mandiri demi keamanan, persatuan, dan kesejahteraan anggota kelompoknya.

Woloan beracara

Walaupun secara administratif Woloan sudah terbagi atas 4 kelurahan, tokoh sebagai suatu komunitas adat wanua orang-orang Woloan sejak memasuki millennium ketiga ini sudah beberapa kali mengadakan acara-upacara-perayaan bersama. Pada tahun 2006 dan 2007 sudah diadakan pagelaran adat mera’ waruga, yaitu memindahkan waruga yang hampir tenggelam dalam tanah ke lokasi yang baru di Rano Walanda di samping amphiteater, atas prakarsa Yayasan Masarang; juga pada tahun 2007 sudah diadakan konperensi nasional petani saguer di amphiteater ini.

Kemudian pada tahun 2016 beberapa orang yang merupakan tu’a im pahtuarian (kepala marga) berinisiatif untuk mengadakan seminar tentang sejarah terjadinya atau berdirinya desa Woloan, yang juga dihadiri oleh para lurah; dan dilanjutkan dengan lokakarya untuk menentukan pilihan terhadap hari ulang tahun wanua Woloan. Pilihan peserta lokakarya itu yakni hari ulang tahun wanua Woloan itu jatuh pada tanggal 9 Agustus 1138 (penjelasan sejarah dan putusan itu lihat di bawah).

Mulai tahun 2017 selalu diadakan acara perayaan ulang tahun wanua Woloan, yang digerakkan oleh para kepala marga (tu’a im pahtuarian) dan yang didukung oleh para lurah dan pejabat desa lainnya. Ada perayaan HUT yang bertemakan kunjungan dari satu kelurahan ke kelurahan lainnya dan mengajak berkumpul bersama untuk mencanangkan pelbagai nama marga (pahtuarian) yang merupakan penduduk asali wanua Woloan. Pada setiap perayaan HUT ini diadakan suatu sidang adat yang diikuti oleh para kepala marga ini untuk membahas dan memutuskan tatanan dan corak hidup bersama yang aman, bersatu, dan sejahtera. Demikian juga pada tanggal 9 Agustus 2023 lalu perayaan HUT ini sudah dibuat dengan mengambil tempat sidang adat di amphiteater Rano Walanda, kemudian untuk acara perayaannya dibuat di salah satu jalan raya; pada kesempatan itu bapak Walikota, Carol Senduk SH, bersama ibu, menghadiri dan ikut berpartisipasi.

Lume’os Kinatouan ne Wanua Woloan

Sejak bulan April 2024 beberapa tu’a im pahtuarian (kepala marga) dan Hukum Tua (=Ukung Tu’a) dari 4 kelurahan yang ada sudah merancang suatu perayaan HUT wanua Woloan, yang jatuh pada tanggal 9 Agustus 2024 nanti. Para penggiat budaya ini sudah membentuk wadah yang bernama Pusat Kebudayaan Tombulu, yang sudah didaftarkan pada Kemenhumkam. Perayaan Hari Ulang Tahun wanua Woloan ini dalam Bahasa Tombulu disebut lume’os kinatouan ne Wanua Woloan.  Perayaan HUT ini dirancang bangun untuk menggali dan mengembangkan, serta memanfaatkan adat-kebiasaan dan nilai-nilai pesta Pengucapan (atau lengkapnya Pengucapan Syukur yang lazim dibuat di desa-desa Minahasa pada pertengahan tahun, sesuai amanat Undang-Undang no.5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah. Sampai sekarang, bilamana orang-orang Minahasa berpesta pengucapan (syukur), selalu ada bahan persembahan natura atau hasil usaha pertanian yang diberikan pada ibadah di gereja, kemudian ada perjamuan bersama di gereja, sedangkan rumah-rumah keluarga yang bersedia berpesta menyiapkan hidangan makanan pesta di ruang tamu atau di selasar rumah bagi para tamu yang datang dan juga bingkisan (saput) makanan-kue yang dimasak di bambu atau/dan kue dodol. Lume’os kinatouan ne Wanua Woloan tahun 2024 ini merancang suatu perayaan yang semakin berkembang dan bermanfaat bagi semua warga dengan pokok-pokok acara demikian:

Sidang adat.

Sidang ini diikuti oleh para kepala marga (tu’a im pahtuarian) yang ada di wanua Woloan, yang dipimpin oleh seseorang yang ditunjuk bersama adhoc di bawah koordinasi Panitia Pesta. Dan isi bahasan sidang ini mengenai sharing pengalaman hidup bersama di wanua selama satu tahun dan keinginan serta usulan untuk menata kehidupan bersama warga dan kegiatan sosial-ekonomis warga di tahun mendatang.

Perjamuan makan bersama.

Biasanya akan digelar sebuah meja panjang (sampai puluhan meter) dengan pelbagai hidangan menu tradisional di atas lapisan daun pisang. Para warga dan para tamu mengambil makanan dari meja panjang ini. Tetapi cara perjamuan pesta demikian sudah tidak memadai untuk menampung ratusan warga wanua Woloan yang ada, dan dipandang kurang sopan bagi para tamu undangan. Karena itu terpikirlah untuk membuat meja perjamuan pesta ini di masing-masing Lingkungan/jaga agar bisa tertata lebih enak dan para tamu undangan lebih dekat, dkenal, dan diterima oleh para warga dalam kelompok lebih kecil. Tetapi pada tahun (politik) ini usulan ini belum dilaksanakan karena para pejabat sipil dilarang berpartisipasi oleh atasannya. Tokh Panitia tetap merasa perlu untuk menyiapkan perjamuan pesta syukur bagi para peserta sidang adat dan para tamu di tempat persidangan itu, dengan suguhan makanan dan kue-kue tradisional.

Upacara adat Lume’os Kinatouan.

Di sore hari para warga wanua Woloan diajak untuk berkunjung bersama ke amphiteater Rano Walanda; amphiteater yang bergaya arsitektur Yunani-Romawi ini bisa menampung lebih dari 2000 orang dan tatanan akustiknya luar biasa, sehingga tidak memerlukan sound system tambahan, dan pemandangan alamnya menampilkan keindahan gunung Lokon, yang merupakan pusat dari para Tou kelompok etnis Tombulu. Adapun upacara adat ini menampilkan beberapa pertunjukan yaitu

Tarian kabasaran: yang menghantar para partisipan upacara dan menjaga-kawal keamanan

Mahrzani: nyanyian-nyanyian rakyat yang berbahasa Tombulu yang dinyanyikan bersama, dan disertai dengan gerak tari oleh kelompok Tari Mahrzani.

-Sumirita un a’asaren ne tu’a pu’una: mengulas tentang kisah terbentuknya wanua Woloan, yang berpola perladangan (uma) yang berpindah-pindah dan kemudian menetap di lokasi sekarang ini. Ada kisah desa dan dotu Tingkulendeng di abad 19, ada kisah waruga abad 18 di lokasi Rano Walanda, ada kisah waruga Opo Supit abad ke 17, dan pilihan tanggal terbentuknya wanua Woloan pada 9 Agustus 1138 yang ditarik dari kisah penyebaran kelompok etnis Tombulu dari wanua asali, Meyesu Kinilow.

Ma’ayo, membawa persembahan hasil bumi (natura) dan hasil usaha para warga sebagai tanda syukur kepada Yang Ilahi (Opo Empung Wailan). Juga sebagian dari hidangan perjamuan yang akan dihadiahkan sebagai bingkisan untuk para tamu dipersembahkan, serentak dimohonkan berkat dari Yang Ilahi atau persembahan ini.

-Tumoyo’: Sesudah persembahan syukur ini, hasil bumi dan usaha manusia ini akan dibagi-bagikan kepada warga atau keluarga miskin, kurang beruntung, lansia, yang didata dan dibagikan oleh tiap kepala marga; kegiatan membagi-bagi ini merupakan cara baru dari adat tumoyo atau weteng yang dibuat di kebun pada saat panen pertama atau di rumah pada awal menghidangkan perjamuan pesta. Ini suatu cara baru untuk mewujudkan sikap sosial bagi mereka yang miskin, sakit, dan terlantar di wanua.

Wowa’: yaitu pemberian hadiah masakan pesta (makanan atau kue tradisional) yang sudah disisihkan dari menu-hidangan perjamuan untuk disampaikan kepada para tamu undangan sebagai bingkisan (saput) dan sebagai balasan atas hadiah amplop berisi uang yang diberikan kepada tuan pesta saat berjabat tangan. Tuan pesta yang menerima tamunya itulah yang sendiri menyampaikan wowa’. Ini suatu carabaru untuk memberikan bingkisan (saput) kepada para tamu yang dikenal dan dihormati.

Cara baru ber-Pengucapan (syukur).

Menelisik rancangan beracara lume’os kinatouan ne wanua Woloan ini, saya menilai bahwa acara adat berpengucapan syukur yang lasim dilakukan di Minahasa setiap tahun ini mendapatkan bentuk baru yang lebih bernilai, bermakna, dan beradab yang serentak bermanfaat bagi para warga wanua Woloan, dan juga bahwa dengan ini mereka memang berpesta ria. Pertemuan, kegiatan, dan perayaan hari ulang tahun semacam ini menggarisbawahi lagi dan menegaskan nilai-nilai hidup bersama, sosialitas warga, dan harapan untuk menggalang hidup yang berusia lanjut, lestari, dan sejahtera: yaitu pakatuan wo pakalawiren.

Pineleng, 2 Agustus 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *